Naik kereta api adalah kesenangan anak-anak. Hari Minggu kemarin
anak saya minta jalan-jalan naik kereta api. Di kawasan Bandung Raya ada
kereta api komuter yang bolak-balik dari Padalarang ke Cicalengka.
Jarak Padalarang ke Cicalengka cukup jauh, barangkali sekitar 30 km
lebih. Kereta api sangat berjasa bagi para pelaju yang rumahnya di
pinggiran Bandung tetapi bekerja di kota Bandung. Tarifnya sangat murah,
hanya Rp1000 per orang. Hampir tidak bisa dipercaya harga karcis kereta
api semurah itu baik untuk jarak jauh maupun jarak dekat. Kalau mau
yang sedikit lebih nyaman bisa naik kereta api patas yang harga karcisya
Rp4000 atau KA Baraya Geulis yang Rp8000. Namun harga karcis kereta api
itu masih tetap jauh lebih murah dibandingkan naik angkot yang mungkin
menghabiskan ongkos Rp15.000 lebih plus kemacetan yang menjadi-jadi pada
hampir semua jalan di dalam kota dan pinggiran kota Bandung.
Harga karcis yang sangat murah itu sebanding dengan pelayanan kereta
yang seadanya dan terkesan seperti kurang diperhatikan oleh PT KAI.
Gerbong kereta sangat kotor, jorok, bau, dan penuh sampah. Para pedagang
kaki lima, pengamen dan pengemis bebas masuk ke dalam kereta. Tetapi,
justru disitulah seninya naik kereta api ekonomi, kereta api kelas
rakyat. Kalau anda ingin melihat potret kehidupan bangsa ini, maka
sesekali naikilah kereta api ekonomi. Sepanjang perjalanan banyak cerita
kehidupan yang mengalir begitu cepat, bagaikan mosaik-mosaik yang
direkatkan ke dalam sebuah bingkai.
Saya mengajak anak-anak naik kereta api ekonomi ini. Biarlah nanti
mereka melihat seperti apa potret kehidupan di sana. Kami naik KRD
ekonomi dari stasiun Kiaracondong, stasiun ini paling dekat dengan rumah
saya. Stasiun Kiaracondong adalah stasiun kelas 2 yang dikhususkan
untuk kereta api ekonomi.
Jam sepuluh pagi KRD ekonomi datang dari arah Cicalengka. Gerbong
kereta sangat padat dengan penumpang. Penumpang berjejalan di dalam
gerbong, sebagian besar hanya bisa berdiri. Banyak penunpang yang naik
dan banyak pula penumpang yang turun. Saya pun bersama anak-anak hanya
bisa berdiri.
Meskipun padat, tetapi di dalam kereta selalu ada tempat bagi
pedagang asongan, pengamen, dan pengemis untuk mencari rezeki. Naik
kereta ekonomi berarti harus berlapang dada dengan mereka. Di sela-sela
penumpang yang berdesakan mereka menarik-narik dagangannya yang
diletakkan di atas gerobak beroda. Para pedagang itu sangat kreatif
dengan menggunakan roda, sehingga barang dagangan tidak perlu dipikul.
Kegigihan para pedagang asongan dalam menjajakan dagangannya patut
diacungi jempol. Pernah ketika saya naik KRD sebelum ini, seorang
pedagang salak mula-mula menawarkan 20 biji salak Manonjaya
(Tasikmalaya) seharga sepuluh ribu. Tidak ada penumpang yang tertarik
membelinya. Tetapi dia tidak putus asa. Ketika dia kembali lag, dia
menawarkan salaknya lagi, kali ini 30 biji dengan harga tetap sepuluh
ribu. Penumpang tetap tidak bergeming. Setelah bolak balik ke gerbong
lain, dia datang lagi, kali ini dia menawarkan empat puluh biji salak
seharga sepuluh ribu. Aha, akhirnya ada penumpang pun tertarik
membelinya. Ha..ha..ha, kalau saja penumpang itu mau bersabar sedikit
menunggu pedagang salak itu kembali lagi, mungkin jumlahnya bisa
bertambah lima puluh biji salak dengan harga yang sama. Saya pun
tersenyum geli membayangkan ulah pedagang salak ini.
Kereta terus melaju, tetapi jalannya tidak bisa cepat. Pada setiap
stasiun antara kereta berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang.
Pengamen dan pedaganga asongan tak henti-hentinya lalu lalang. Tiba-tiba
datanglah seorang anak muda yang berjalan dengan cara merangkak. Badan
dan pakainnya kotor sekali. Dia membawa sebuah sapu. Sapu itu terus
disorong-sorongkannya ke lantai gerbong untuk mendorong sampah yang
berserakan. Sekali-sekali dia berhenti lalu melakukan gerakan dengan
tangan seperti orang minta minum dan makan. Tahulah saya maksudnya,
ternyata dia mengemis meminta uang buat minum atau makan. Kasihan
sekali. Beberapa penumpang memberikan uang ala kadarnya.
Stasiun Bandung, Ciroyom, Andir, Cimindi, Cimahi, Gadobangkong telah
dilewati. Melewati stasiun Ciroyom kita akan menemui bau yang menusuk
hidung. Bau busuk dari pasar ikan di Ciroyom memenuhi gerbong kereta
yang terbuka. Akhirnya kereta sampai di stasiun Padalarang. Ini adalah
stasiun terakhir tempat perhentian. Saya dan anak-anak segera turun.
Tidak bisa berlama-lama kami di staisun ini, sebab kereta akan berangkat
lagi ke Cicalengka. Saya segera membeli karcis yang harganya tetap
seribu rupiah.
Baru turun lima menit ternyata kereta sudah dipenuhi penumpang. Ini
suatu tanda bahwa antusiasme masyarakat urban untuk naik kereta api
sangat tinggi, karena kereta api rakyat semacam ini tarifnya sangat
murah dan bebas dari kemacetan.
Seperti dalam perjalanan pergi, dalam perjalanan pulang ini penumpang
disuguhi kembali potret yang sama, yaitu lalu lalang pedagang asongan,
pengamen dan pengemis. Kali ini penumpang tidak sepadat dari
Kiaracondong sehingga para pengamen lebih leluasa dalam mencari makan.
Pada pedagang buah pun ikut meramaikan kereta dengan buah mangganya.
Hujan deras ikut menemani selama perjalanan. Kereta terus melaku
menyinggahi stasiun-stasiun kecil. Penumpang naik dan turun. Hidup itu
seperti perjalanan kereta api, ada yang datang dan ada yang pergi. Kita
berangkat dari suatu tempat dan akhirnya harus berhenti untuk turun.
Selama dalam perjalanan kita menemukan banyak manusia dengan aneka ragam
tingkah polah dan nasibnya. Perguliran nasib hanya Allah yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar