Kamis, 02 Agustus 2012

Sepenggal Potret Kehidupan di dalam KRD Cicalengka – Padalarang



Naik kereta api adalah kesenangan anak-anak. Hari Minggu kemarin anak saya minta jalan-jalan naik kereta api. Di kawasan Bandung Raya ada kereta api komuter yang bolak-balik dari Padalarang ke Cicalengka. Jarak Padalarang ke Cicalengka cukup jauh, barangkali sekitar 30 km lebih. Kereta api sangat berjasa bagi para pelaju yang rumahnya di pinggiran Bandung tetapi bekerja di kota Bandung. Tarifnya sangat murah, hanya Rp1000 per orang. Hampir tidak bisa dipercaya harga karcis kereta api semurah itu baik untuk jarak jauh maupun jarak dekat. Kalau mau yang sedikit lebih nyaman bisa naik kereta api patas yang harga karcisya Rp4000 atau KA Baraya Geulis yang Rp8000. Namun harga karcis kereta api itu masih tetap jauh lebih murah dibandingkan naik angkot yang mungkin menghabiskan ongkos Rp15.000 lebih plus kemacetan yang menjadi-jadi pada hampir semua jalan di dalam kota dan pinggiran kota Bandung.


Harga karcis yang sangat murah itu sebanding dengan pelayanan kereta yang seadanya dan terkesan seperti kurang diperhatikan oleh PT KAI. Gerbong kereta sangat kotor, jorok, bau, dan penuh sampah. Para pedagang kaki lima, pengamen dan pengemis bebas masuk ke dalam kereta. Tetapi, justru disitulah seninya naik kereta api ekonomi, kereta api kelas rakyat. Kalau anda ingin melihat potret kehidupan bangsa ini, maka sesekali naikilah kereta api ekonomi. Sepanjang perjalanan banyak cerita kehidupan yang mengalir begitu cepat, bagaikan mosaik-mosaik yang direkatkan ke dalam sebuah bingkai.
Saya mengajak anak-anak naik kereta api ekonomi ini. Biarlah nanti mereka melihat seperti apa potret kehidupan di sana. Kami naik KRD ekonomi dari stasiun Kiaracondong, stasiun ini paling dekat dengan rumah saya. Stasiun Kiaracondong adalah stasiun kelas 2 yang dikhususkan untuk kereta api ekonomi.


Jam sepuluh pagi KRD ekonomi datang dari arah Cicalengka. Gerbong kereta sangat padat dengan penumpang. Penumpang berjejalan di dalam gerbong, sebagian besar hanya bisa berdiri. Banyak penunpang yang naik dan banyak pula penumpang yang turun. Saya pun bersama anak-anak hanya bisa berdiri. 


Meskipun padat, tetapi di dalam kereta selalu ada tempat bagi pedagang asongan, pengamen, dan pengemis untuk mencari rezeki. Naik kereta ekonomi berarti harus berlapang dada dengan mereka. Di sela-sela penumpang yang berdesakan mereka menarik-narik dagangannya yang diletakkan di atas gerobak beroda. Para pedagang itu sangat kreatif dengan menggunakan roda, sehingga barang dagangan tidak perlu dipikul. 


Kegigihan para pedagang asongan dalam menjajakan dagangannya patut diacungi jempol. Pernah ketika saya naik KRD sebelum ini, seorang pedagang salak mula-mula menawarkan 20 biji salak Manonjaya (Tasikmalaya) seharga sepuluh ribu. Tidak ada penumpang yang tertarik membelinya. Tetapi dia tidak putus asa. Ketika dia kembali lag, dia menawarkan salaknya lagi, kali ini 30 biji dengan harga tetap sepuluh ribu. Penumpang tetap tidak bergeming. Setelah bolak balik ke gerbong lain, dia datang lagi, kali ini dia menawarkan empat puluh biji salak seharga sepuluh ribu. Aha, akhirnya ada penumpang pun tertarik membelinya. Ha..ha..ha, kalau saja penumpang itu mau bersabar sedikit menunggu pedagang salak itu kembali lagi, mungkin jumlahnya bisa bertambah lima puluh biji salak dengan harga yang sama. Saya pun tersenyum geli membayangkan ulah pedagang salak ini.
Kereta terus melaju, tetapi jalannya tidak bisa cepat. Pada setiap stasiun antara kereta berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang. Pengamen dan pedaganga asongan tak henti-hentinya lalu lalang. Tiba-tiba datanglah seorang anak muda yang berjalan dengan cara merangkak. Badan dan pakainnya kotor sekali. Dia membawa sebuah sapu. Sapu itu terus disorong-sorongkannya ke lantai gerbong untuk mendorong sampah yang berserakan. Sekali-sekali dia berhenti lalu melakukan gerakan dengan tangan seperti orang minta minum dan makan. Tahulah saya maksudnya, ternyata dia mengemis meminta uang buat minum atau makan. Kasihan sekali. Beberapa penumpang memberikan uang ala kadarnya. 


Stasiun Bandung, Ciroyom, Andir, Cimindi, Cimahi, Gadobangkong telah dilewati. Melewati stasiun Ciroyom kita akan menemui bau yang menusuk hidung. Bau busuk dari pasar ikan di Ciroyom memenuhi gerbong kereta yang terbuka. Akhirnya kereta sampai di stasiun Padalarang. Ini adalah stasiun terakhir tempat perhentian. Saya dan anak-anak segera turun. Tidak bisa berlama-lama kami di staisun ini, sebab kereta akan berangkat lagi ke Cicalengka. Saya segera membeli karcis yang harganya tetap seribu rupiah.
Baru turun lima menit ternyata kereta sudah dipenuhi penumpang. Ini suatu tanda bahwa antusiasme masyarakat urban untuk naik kereta api sangat tinggi, karena kereta api rakyat semacam ini tarifnya sangat murah dan bebas dari kemacetan.
Seperti dalam perjalanan pergi, dalam perjalanan pulang ini penumpang disuguhi kembali potret yang sama, yaitu lalu lalang pedagang asongan, pengamen dan pengemis. Kali ini penumpang tidak sepadat dari Kiaracondong sehingga para pengamen lebih leluasa dalam mencari makan.


Pada pedagang buah pun ikut meramaikan kereta dengan buah mangganya.


Hujan deras ikut menemani selama perjalanan. Kereta terus melaku menyinggahi stasiun-stasiun kecil. Penumpang naik dan turun. Hidup itu seperti perjalanan kereta api, ada yang datang dan ada yang pergi. Kita berangkat dari suatu tempat dan akhirnya harus berhenti untuk turun. Selama dalam perjalanan kita menemukan banyak manusia dengan aneka ragam tingkah polah dan nasibnya. Perguliran nasib hanya Allah yang tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar