Oleh Sigit
Adinugroho
Hari masih pagi ketika saya menjejakkan kaki di Berlin Hauptbahnhof, stasiun
kereta api utama di Berlin, ibukota Jerman. Bayangan saya pada stasiun kereta
api tua berarsitektur Baroque atau Roman sirna, karena stasiun ini
berstruktur modern dengan kaca dan besi berpadu jadi satu, mempersilakan sinar
matahari masuk dengan bebasnya sehingga tidak diperlukan banyak penerangan.
Tetap cantik.
Saya sempat termenung sebentar di peron, memperhatikan orang-orang
berlalu-lalang. Barangkali mereka akan bertemu dengan keluarganya di kota lain.
Ada anak kecil yang berlarian, lalu kembali ke orang tuanya, menunggu kereta ke
ujung Berlin. Apapun tujuan mereka, peron kereta ini menjadi persinggahan.
Wilayah Berlin sangat masif ukurannya. Sebagai perbandingan, daerah khusus
ibukota Jakarta bahkan hanya 80% dari total luas wilayah Berlin. Untungnya,
kota ini dihubungkan oleh sistem transportasi massal yang memadai, terutama
sistem rel dan bis.
Senefelderplatz di utara distrik (bezirke) Mitte adalah stasiun
tujuan saya.
Transit di Alexanderplatz, saya minum segelas susu hangat
dan makan siang roti isi. Tidak lebih dari €5. “Warung” ini mungil, dengan
kursi tinggi tanpa sandaran, meja kecil kota terselimuti taplak kotak-kotak
hijau dan putih. Semua pesanan dilakukan di etalase, pembayaran di kasir dan
makanan akan diantarkan. Saya duduk di dekat jendela. Matahari sangat
bersahabat. Beberapa orang duduk di luar. Tram yang turun di samping stasiun
menurunkan anak muda, bapak yang menggendong anak, pasangan renta yang berjalan
pelan dengan tongkatnya. Ada yang berjaket, blazer dan berjas. Ada anak yang
kemudian lapar, dan meminta ayahnya singgah ke tempat saya singgah.
Alexanderplatz berfungsi sebagai pemadu moda transportasi yang mengakomodasi
dua jenis moda, yakni S-Bahn/U-Bahn (kereta api dalam kota, S dan U
mengisyaratkan jenis kereta, di atas jalan/strasse atau di bawah
tanah/unter) dan tram. Di sini juga terdapat banyak toko dan atraksi,
letaknya juga di pusat kota.
Sistem S/U-Bahn di Berlin menggunakan tarif berdasarkan zona. Kota dibagi
menjadi tiga zona, dan zona yang paling murah bertarif €2.30. Anda membeli tiket
di sebuah mesin, dengan memilih zona/stasiun yang ingin dituju. Jangan lupa, di
Berlin, anda harus melakukan validasi tiket dengan mesin kecil. Ingat kondektur
kereta yang membolongkan tiket? Sama seperti itu, hanya ini dilakukan di sebuah
mesin. Tiket ini berlaku dua jam setelah divalidasi, hanya berlaku di zona yang
sama dan tidak boleh pulang pergi di jalur yang sama. Walaupun saya sudah
mampir Alexanderplatz, saya tidak perlu beli tiket lagi karena masih dalam
batas dua jam.
Saya lihat U-Bahn menggunakan gerbong yang agak klasik, rasanya seperti
masih di Berlin dekade 80-an. Terlihat grafiti/vandalisme di stasiun, badan dan
interior gerbong. Stensil bergambarkan Bradenburg Gate melapisi kaca, seolah
mengkonfirmasikan memang saya ada di Berlin.
Senefelderplatz ada di Mitte. Mitte adalah distrik yang cukup sentral dan
trendi, menyimpan hampir semua atraksi Berlin yang dipromosikan oleh agen
perjalanan: Bradenburg Gate, Berliner Dom, gedung Reichstag, Weltzeituhr,
Deutsche Guggenheim, Fernsehturm/TV Tower (menara televisi “asparagus”), dan
masih banyak lagi. Beberapa titik lokasi bersejarah ketika Berlin dipisahkan
oleh sebuah tembok juga ada di distrik ini.
Tidak sulit untuk berkelling Mitte dan menikmati hampir seluruh atraksi
utama Berlin dalam sehari dengan berjalan kaki. Neue Synagogue dapat diraih
dalam sekitar 15 menit, tempat ibadah kaum Yahudi yang dibangun pada abad
ke-18, berarsitektur Moor (ingat Alhambra). Bradenburg Gate dapat diraih dalam
15 menit dari Neue Synagogue. Gerbang ini dibangun sebagai pintu masuk untuk
pusat pemerintahan kerajaan Prussia. Dahulu, lokasi ini adalah bagian dari
benteng berparit. Sekarang, ia menjadi monumen kebanggaan bangsa Jerman dan
bangsa Eropa, namun fungsinya hampir sudah tidak ada. Sekilas saya lihat di koin
Euro produksi Jerman, maka terdapat Bradenburg Gate di sana. Berjalan masuk ke
gerbang ini, Anda akan sampai di Unter den Linden, sebuah bulevar
panjang yang menghubungkan pejalan kaki ke Friedrichstrasse (distrik belanja
utama) dan Checkpoint Charlie, salah satu checkpoint perbatasan yang penting
dalam sejarah Berlin Barat dan Timur.
Menurut saya, yang paling menarik dari Berlin adalah sejarah politiknya.
Setelah perang dunia II, ada perjanjian empat pihak antara sekutu (Amerika,
Perancis dan Inggris) dan Uni Soviet yang mengatakan bahwa Jerman akan dikelola
oleh empat negara tersebut, di mana wilayahnya dibagi menjadi sektor Amerika,
sektor Perancis, sektor Inggris dan sektor Uni Soviet. Bagian Jerman yang
sekarang masuk ke wilayah Polandia dinyatakan sudah merdeka. Berlin, sebagai
ibukota de facto, juga mengikuti pembagian pemerintahan ini, dengan
empat sektor juga. Sektor sekutu di bagian barat, dan sektor Uni Soviet di
bagian timur. Pemerintahan bersama ini bersifat sementara, dan Jerman
direncanakan akan menjadi satu dan independen pada akhirnya. Namun, karena
terjadi ketegangan lanjutan antara sekutu dan Uni Soviet pada masa Perang
Dingin, Berlin, pada akhirnya, terbelah dua dan Uni Soviet membangun tembok
Berlin yang memisahkan kota tersebut. Negara Jerman pun terbelah dua, menjadi
Jerman Barat dan Jerman Timur.
Situasi yang lebih menarik lagi adalah seluruh Berlin terletak di wilayah
Jerman Timur. Otomatis, wilayah Berlin Barat adalah sebuah exclave,
wilayah yang terkurung di negara Jerman Timur, tetapi menjadi bagian terpisah
dari negara Jerman Barat. Secara hukum ada beberapa perbedaan yang meregulasi
hak/kewajiban dan status warga Berlin Barat yang membedakan mereka dengan warga
negara Jerman Barat, tetapi pada dasarnya mereka adalah warga negara Jerman
Barat. Keadaan ini berlangsung hampir tiga dekade sampai tembok Berlin
diruntuhkan mendekati dekade 90-an. Kompleks, memang.
Peninggalan tembok Berlin ini masih terlihat di Berlin modern, namun banyak
yang sudah tidak utuh. Beberapa papan pengumuman/penanda perbatasan pun masih
ada, bertuliskan, “You are now leaving the American sector!”. Bagian
yang sudah diruntuhkan ditandari dengan segaris perunggu yang ditanamkan di
atas trotoar, bertuliskan: “BERLINER MAUER 1961–1989”. “Mauer”
artinya tembok.
Tembok Berlin menjadi saksi bagaimana beberapa orang melarikan diri dan
merenggut nyawanya sendiri. Banyak dari mereka yang tewas ditembak karena
mencoba melarikan diri dari Berlin Timur ke Berlin Barat. Namun, tidak semuanya
gagal. Ada prajurit Uni Soviet yang bernama Conrad Schumann yang berani
melompat dari Jerman Timur ke Jerman Barat saat tembok masih dibangun, dan
pembatasan masih sebatas kawat berduri. Conrad selamat dan dapat menyaksikan
Tembok Berlin runtuh tahun 1989. Ia wafat pada tahun 1998. Seorang jurnalis
mengambil fotonya ketika dia melompat dan foto tersebut menjadi ikon Perang
Dingin.
Melihat Berlin sekarang, semuanya berubah. Ia sudah menjadi kota modern,
berukuran masif dan makmur. Ia menjadi pusat pemerintahan Jerman, di mana
anggota legislatif bertemu di sini untuk menentukan arah negara.
Saya kagum melihat gedung Reichstag, gedung parlemennya. Pengunjung bisa
menyaksikan bagian dalam gedung ini, gratis. Pemerintah memutuskan untuk
“membuka” ruang publik di sekitar parlemennya, di mana pengunjung bebas
berjalan kaki melihat kantor pegawai negeri sipil, tempat kongres dan gedung
Reichstag yang tua yang dilengkapi dengan hamparan lapangan hijau luas. Di
tengah-tengah pusat pemerintahan ini terdapat sungai, yang kabarnya, pernah
menjadi saksi pertumpahan darah mereka yang melarikan diri dari Jerman Timur ke
Jerman Barat. Saya bergidik, tapi biarkanlah itu jadi saksi sejarah dan
pengingat bagi masyarakat Jerman akan masa lalu mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar