Reporter : Mohamad Taufik, Islahudini | Senin, 3 Desember 2012 07:31:00
Anda tentu ingat slogan sedikit bicara banyak bekerja. Setidaknya
slogan itu dipercayai pakar Teknik Konstruksi dan Mesin jebolan
Universitas Indonesia Kusnan Nuryadi. Dia risih saban menghadiri diskusi
dan pertemuan membahas problem transportasi dan kemacetan Jakarta.
Sebab kesimpulanya, hanya sebatas menampung keluhan tanpa usaha nyata.
Celakanya, kadang ujung dari diskusi hanya menelorkan rekomendasi studi banding ke luar negeri. Lalu pulangnya membeli produk asing tanpa mau menggali potensi di dalam negeri. "Padahal seharusnya kemacetan Jakarta membuat kita kreatif dan mencari solusinya," ujarnya saat ditemui merdeka.com di kantornya, Tambun, Bekasi, Jawa Barat, Selasa siang pekan lalu.
Kusnan menilai, pejabat Indonesia sejak dulu tidak percaya diri dengan potensi dan karya anak negeri. Contohnya proyek monorail Pemerintah DKI Jakarta pada 2004 mandek total lima tahun berikutnya. Teknologi monorail digunakan saat itu diimpor dari Jepang, mulai dari gerbong kereta, sistem kelistrikan, sinyal komunikasi, hingga sistem tiket penumpang.
Sayang realisasi pembangunan itu mangkrak tiga tahun lalu karena masalah pendanaan. Mau tidak mau, konstruksi lintasan tiang beton sudah terpacak di Jalan Asia Afrika (Semayan) dan Jalan H.R. Rasuna Said (Kuningan) mangkrak. Beton tak terawat, besi berkarat. Padahal PT Adhi Karya, investor proyek, sudah mengeluarkan biaya besar untuk membuat tiang-tiang beton itu.
Mahalnya pembuatan monorail, konon disebut-sebut mencapai Rp 6,5 triliun, membuat Kusnan merancang sendiri monorail lokal, plus segala perlengkapan agar biaya lebih hemat. Sebab dia yakin mahalnya biaya monorail akan menjadi kendala pembelian dan realisasi proyek. Apalagi masalah macet ini kian kronis, tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan di kota lain seperti Surabaya di Jawa Timur.
Maka sejak 2009, menggandeng PT Melu Bangun Wiweka (MBW), dia mulai merancang monorail murah, namun tidak murahan. Dia memadukan teknologi kereta satu rel dari semua negara pemakai angkutan jenis ini, mulai Jerman, Jepang, hingga Amerika Serikat. Dia datang ke sana langsung memantau teknologi digunakan para teknisi, termasuk mencatat biaya pembuatan.
Bukan cuma perkara teknologi, dia juga mempelajari sistem tiket, memantau kondisi penumpang, pengelolaan stasiun, hingga depo perawatan kereta. Hasilnya, dari dua model monorail digunakan di dunia, yakni model pelana kereta berjalan di atas rel dan model menggantung di bawah rel, dia merasa model pelana lebih cocok untuk Indonesia.
Kusnan dan timnya akhirnya benar-benar merancang desain baru tahun itu juga. Rancangan monorail buatannya dilabeli Urban Transit Monorel (UTM-125). Rancangan teknologi kereta satu rel itu buah dari perpaduan teknologi Jerman dan Jepang. Misalnya, untuk sistem pendorong dan peluncur. Alasannya, dua negara itu selama ini terus mengembangkan kereta angkut massal dalam kota.
Bedanya, kata dia, monorail Jerman dikenal nyaman bagi penyandang cacat, sedangkan Jepang terlalu sesak bagi penumpang. Namun demikian, untuk bahan gerbong, dia memproduksi sendiri dari bahan baku lokalan dengan harga lebih murah. Untuk spesifikasi prototipe monorail kereta, lebarnya hanya 2,5 meter atau selebar bus Trans Jakarta.
Prototipe baru dibuat dua tahun lalu, lengkap dengan trek lintasan sepanjang 50 meter. Merdeka.com sempat berkunjung ke sana, lalu diajak oleh Kusnan mencoba naik monorail. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mencoba kenyamanan kereta monorail itu.
"Kami sudah siap produksi, tinggal menunggu uji kelayakan dan pesanan konsumen saja. Pak Jusuf Kalla juga berminat memesan untuk angkutan di Makassar," ujarnya.
Celakanya, kadang ujung dari diskusi hanya menelorkan rekomendasi studi banding ke luar negeri. Lalu pulangnya membeli produk asing tanpa mau menggali potensi di dalam negeri. "Padahal seharusnya kemacetan Jakarta membuat kita kreatif dan mencari solusinya," ujarnya saat ditemui merdeka.com di kantornya, Tambun, Bekasi, Jawa Barat, Selasa siang pekan lalu.
Kusnan menilai, pejabat Indonesia sejak dulu tidak percaya diri dengan potensi dan karya anak negeri. Contohnya proyek monorail Pemerintah DKI Jakarta pada 2004 mandek total lima tahun berikutnya. Teknologi monorail digunakan saat itu diimpor dari Jepang, mulai dari gerbong kereta, sistem kelistrikan, sinyal komunikasi, hingga sistem tiket penumpang.
Sayang realisasi pembangunan itu mangkrak tiga tahun lalu karena masalah pendanaan. Mau tidak mau, konstruksi lintasan tiang beton sudah terpacak di Jalan Asia Afrika (Semayan) dan Jalan H.R. Rasuna Said (Kuningan) mangkrak. Beton tak terawat, besi berkarat. Padahal PT Adhi Karya, investor proyek, sudah mengeluarkan biaya besar untuk membuat tiang-tiang beton itu.
Mahalnya pembuatan monorail, konon disebut-sebut mencapai Rp 6,5 triliun, membuat Kusnan merancang sendiri monorail lokal, plus segala perlengkapan agar biaya lebih hemat. Sebab dia yakin mahalnya biaya monorail akan menjadi kendala pembelian dan realisasi proyek. Apalagi masalah macet ini kian kronis, tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan di kota lain seperti Surabaya di Jawa Timur.
Maka sejak 2009, menggandeng PT Melu Bangun Wiweka (MBW), dia mulai merancang monorail murah, namun tidak murahan. Dia memadukan teknologi kereta satu rel dari semua negara pemakai angkutan jenis ini, mulai Jerman, Jepang, hingga Amerika Serikat. Dia datang ke sana langsung memantau teknologi digunakan para teknisi, termasuk mencatat biaya pembuatan.
Bukan cuma perkara teknologi, dia juga mempelajari sistem tiket, memantau kondisi penumpang, pengelolaan stasiun, hingga depo perawatan kereta. Hasilnya, dari dua model monorail digunakan di dunia, yakni model pelana kereta berjalan di atas rel dan model menggantung di bawah rel, dia merasa model pelana lebih cocok untuk Indonesia.
Kusnan dan timnya akhirnya benar-benar merancang desain baru tahun itu juga. Rancangan monorail buatannya dilabeli Urban Transit Monorel (UTM-125). Rancangan teknologi kereta satu rel itu buah dari perpaduan teknologi Jerman dan Jepang. Misalnya, untuk sistem pendorong dan peluncur. Alasannya, dua negara itu selama ini terus mengembangkan kereta angkut massal dalam kota.
Bedanya, kata dia, monorail Jerman dikenal nyaman bagi penyandang cacat, sedangkan Jepang terlalu sesak bagi penumpang. Namun demikian, untuk bahan gerbong, dia memproduksi sendiri dari bahan baku lokalan dengan harga lebih murah. Untuk spesifikasi prototipe monorail kereta, lebarnya hanya 2,5 meter atau selebar bus Trans Jakarta.
Prototipe baru dibuat dua tahun lalu, lengkap dengan trek lintasan sepanjang 50 meter. Merdeka.com sempat berkunjung ke sana, lalu diajak oleh Kusnan mencoba naik monorail. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mencoba kenyamanan kereta monorail itu.
"Kami sudah siap produksi, tinggal menunggu uji kelayakan dan pesanan konsumen saja. Pak Jusuf Kalla juga berminat memesan untuk angkutan di Makassar," ujarnya.
[fas]
source: http://www.merdeka.com/khas/mengintip-monorel-karya-anak-negeri-proyek-monorel-2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar