Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Tukang Ojek tentang Kereta Api (II): Mimpi Anakku tentang Kereta Api


“Naik kereta api… tut… tut… tut… Siapa hendak turut Ke Bandung… Surabaya… Bolehlah naik dengan percuma… Ayo kawanku lekas naik keretaku tak berhenti lama..”

Semoga masih banyak yang ingat dengan lagu di atas. Perkeretaapian Indonesia memiliki sejarah panjang yang mana kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan dibangunnya jalan rel sepanjang 26 km pada lintas Kemijen - Temanggung oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang pencangkulan pertamanya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Belanda L.A.J. Baron Sloet Van De Beele pada 17 Juni 1864. Dalam perkembangan selanjutnya, kereta api memiliki peran yang sangat besar pada masa perjuangan kemerdekaan khususnya dalam mendistribusikan logistik keperluan perjuangan dan mobilisasi prajurit. Selain itu, hijrahnya pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946 pun tidak lepas dari peran kereta api.(selengkapnya: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kereta_api_Indonesia)
“Mengapa diberi nama kereta api Ayah? Apakah kereta itu terbuat dari api?” Tanya anak saya pada suatu malam sepulang dari pengajian di mushola di ujung gang.
“Bukan terbuat dari api Nak, tapi dari besi.”
“Kenapa tidak diberi nama kereta besi saja Ayah?”
“Tak tahulah Nak.”
“Ayah, apakah kereta itu membawa api sehingga diberi nama kereta api?”
“Tidak Nak, kereta itu tidak membawa api tetapi membawa penumpang dan barang.”
“Kenapa tidak diberi nama kereta penumpang atau kereta barang Ayah?”
“Tak tahulah Nak, Ayah tidak mengerti.”
“Begini saja Nak, liburan nanti Ayah ajak kamu ke Ambarawa. Di sana ada musium kereta api, nanti ada yang bisa menjelaskan dengan jelas asal usul nama kereta api.”
“Baiklah kalau begitu Yah” sahut anakku.”

Ketika minggu lalu ada kesempatan anak libur sekolah selama satu minggu karena semua ruangan kelas dipakai untuk ujian nasional anak-anak kelas 6, aku pun mengajaknya ke Ambarawa untuk melihat musium kereta api yang pernah aku janjikan. Dan mengalirlah penjelasan dari petugas tentang kereta api yang dahulu berbahan bakar uap yang dihasilkan dari pembakaran kayu dst. Puaslah hati anak saya yang cerewet itu ketika mendapat penjelasan kenapa diberi nama kereta api dan berkesimpulanlah dia, “Oooo.. ternyata dulu di kereta api itu memang ada apinya yang digunakan untuk membakar ketel uap.”
Setelah puas, kami pun kembali ke Jakarta melalui Stasiun Tawang Semarang dengan menumpang kereta api Argo Gembus. Mulai kambuhlah penyakit cerewet anak bengal ini.
“Ayah kereta ini sudah tidak ada apinya kok masih diberi nama kereta api? Dan di stasiun tadi kok ada nama PT. Kereta Api Indonesia?”
“Nak, kata nenek kamu dulu ada pepatah ‘apalah arti sebuah nama’. Jadi tak usahlah kau risau soal nama. Yang penting tidak diberi nama kereta angin, kereta kuda atau kereta mayat !. Ketahuilah Nak, bahasa Indonesia itu sangat kaya dan cepat sekali perkembangannya. Di dalamnya sering kita jumpai adanya penggabungan dua kata yang membentuk satu kesatuan yang menimbulkan arti baru yang biasa disebut dengan kata majemuk. Jadi sebutan kereta api itu sah-sah saja Nak, tak usah kau tanyakan lagi.”
“Hanya karena persoalan kata itu kah yang membuatmu risau tentang kereta api Nak? Atau ada hal lain yang merisaukanmu?” Anakku terdiam tak menjawab.
“Tidurlah Nak, perjalanan masih jauh, kau pasti sangat lelah dan perlu istirahat” aku berbisik sambil memeluknya.
Dalam hati saya pun bersyukur, tidak mengajak anak saya naik kereta api yang bertarif lebih rendah. Kalau itu saya lakukan, anak saya pasti akan bertanya: “Ayah kereta api itu ternyata pesing, kenapa tidak diberi nama kereta pesing saja?”
*****
Kami pun sampai kembali di Jakarta dan berganti naik KRL Jabotabek. “Ini kereta api apa lagi Ayah? Kereta api listrik ya Yah?”
“Bukan Nak, ini Kereta Rel Listrik. Kereta ini sekarang dikenal bernama KA Commuter Jabodetabek”.
“Wah orang-orang harus hati-hati ya Yah, jangan sampai menginjak rel kereta ini karena ada listriknya yang bisa nyetrum!”
“Sudah lah Nak, jangan banyak tanya kereta api lagi. Ingat ya Nak, jangan sampai kamu punya cita-cita jadi Masinis atau sopir kereta api! Kasihan kau nanti karena akan sering dijadikan kambing hitam kalau terjadi kecelakaan. Apapun bentuk kecelakaannya, human error masinislah alasan pastinya. Gaji masinis juga kecil Nak, sungguh berbeda dengan gaji para pilot pesawat terbang, padahal tanggung jawabnya tidak kalah berat dari pilot Nak. Bahkan kalau dilihat dari jumlah penumpang yang diangkut dan harus dijamin keselamatannya, penumpang kereta api justru jauh lebih banyak. Tidak Nak, Ayah tak ingin kau berada disitu karena selama negeri ini masih mengabaikan kereta api maka tak ada gunanya kamu bekerja di situ. Sekarang tidurlah lagi Nak, masih ada waktu untuk istirahat sampai stasiun tempat kita turun nanti.”

Aku peluk tubuh anakku, sekedar menenangkan supaya cepat tidur dan melindunginya dari benturan barang bawaan penumpang lainnya. Maafkan Ayah Nak, banyak hal yang belum Ayah ceritakan kepadamu, ucapku dalam hati. Ayah tidak cerita tentang panjang rel kereta api dan infrastruktur lainnya yang terus berkurang juga tidak cerita tentang masa muda kakekmu dulu dan kawan-kawannya yang sangat bangga dikirim oleh Presiden Soekarno untuk belajar tentang kereta api di salah satu negara Eropa Timur. Kebanggaan kakek yang pada akhirnya menjadi penyesalan panjang karena tidak sempat menerapkan keahliannya untuk membangun perkeretaapian negeri ini sampai beliau meninggal. 

Nak, Ayah tadi membaca koran bekas bungkus makanan, ternyata dalam kurun waktu 61 tahun panjang rel mengalami penyusutan mencapai 41%!. Jika pada 1939 rel yang dibangun Belanda adalah sepanjang 6.811 kilometer, pada 2000 hanya tersisa 4.030 km (Sumber: Media Indonesia). Itu data sepuluh tahun yang lalu Nak, tahun 2010 entah sudah berkurang berapa kilometer lagi. Selain rel, infastruktur kereta api lainnya - yang sebagian besar adalah peninggalan Belanda - juga banyak mengalami penurunan. Dalam hal stasiun kereta api misalnya, pada tahun 1955 jumlah stasiun yang ada mencapai 1.516 buah. Dalam kurun waktu 50 tahun, jumlah stasiun berkurang hingga tinggal 571 stasiun.

Kenapa Ayah tidak menceritakan fakta ini kepadamu? Ayah tidak ingin mendengar kamu bertanya, “Yah, kenapa Belanda lebih memperhatikan pembangunan kereta api untuk negara jajahannya daripada pemerintah Republik Indonesia untuk rakyatnya?” Kalau kamu menanyakan hal itu, Ayah harus menjawab apa Nak?
Aku pandangi wajah anakku yang tertidur pulas sambil tersenyum. Mungkin dia sedang bermimpi menjadi Presiden Sepur, presiden negeri ini yang perduli terhadap kereta api. Presiden yang mempunyai cita-cita dapat menghubungkan negara-negara ASEAN menggunakan kereta api. Presiden yang ingin menghubungkan Malaysia, Singapura, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Madura dan Pulau Bali serta menghubungkan seluruh daerah di Pulau Kalimantan yang di dalamnya terdapat negara Brunai, Malaysia dan Indonesia semuanya dengan sarana transportasi kereta api.

Nak, kalau kamu sedang bermimpi menjadi Presiden Sepur, lengkapilah mimpimu dengan mimpi tentang sumber energi dalam negeri yang sekarang telah terkuras untuk memenuhi energi negara lain. Sebagai presiden kamu harus berani menghentikan ekspor energi mentah yang selama ini dilakukan negeri ini. Ini penting Nak, supaya kamu bisa membangun kereta api dengan sumber tenaga yang berbahan bakar murah dan selalu tersedia dalam jangka panjang.

Lengkapi pula mimpimu itu dengan mimpi membangun pabrik baja yang besar dan kuat Nak. Sebagai presiden kamu harus berani membeli kembali saham pabrik baja kita yang sebagian sudah terlanjur dijual. Ini penting Nak, supaya negeri ini bisa membuat kereta api dan relnya dari bahan baku yang dihasilkan sendiri sehingga tidak tergantung dengan negara lain. Selain itu, dengan menguasai sumber bahan baku baja dan memiliki pabrik pengolahannya maka negeri ini juga akan bisa membuat kapal laut yang besar dan bisa pula membuat pesawat terbang seperti yang dulu dibuat oleh IPTN (PT. DI). Negeri ini adalah negeri yang sangat besar dan memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak Nak, sehingga perlu sarana transportasi yang banyak pula untuk memobilisasi penduduk dan barang-barang. Untuk menjaga keamanan negeri kita yang besar ini tentu memerlukan tentara dan perlengkapannya yang memadai Nak. Dengan penguasaan atas industri baja maka memungkinkan kita bisa memproduksi berbagai peralatan militer di dalam negeri.

Jangan lupa Nak, sebagai presiden kamu bersumpah akan mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Sebagai salah satu perwujudan dari sumpahmu itu kamu harus membangun Universitas Internasional Sepur Indonesia! Ini penting Nak, supaya rakyat negeri ini bisa menjadi rakyat yang cerdas sehingga bisa membuat dan mengelola sendiri perkeretaapian nasional tanpa tergantung dengan rakyat negara lain. Kalau kita mempunyai sekolah perkeretaapian yang maju maka negara pasti akan lebih efisien lagi karena tak perlu mengalokasikan anggaran studi banding belajar kereta api ke luar negeri untuk para pejabat dan para wakil rakyat.

Di atas itu semua Nak, sebagai presiden kamu harus berjanji kepada rakyatmu untuk tidak menjual perusahaan yang mengelola kereta api itu kepada pihak manapun. Biarlah seluruh rakyat negeri ini yang memilikinya. Tidak sepantasnyalah kamu memperlakukan nama Indonesia yang disandang perusahaan kereta api itu sama seperti merk dagang yang layak diperdagangkan. Nama Indonesia tidak sama dengan nama perusahaan penjual ayam goreng kegemaranmu, ingatlah itu Nak!

*sumber: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/04/27/cerita-tukang-ojek-tentang-kereta-api-ii-mimpi-anakku-tentang-kereta-api/#*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar