Tiket elektronik dan tarif progresif kereta rel listrik Jabodetabek
dipastikan berlaku mulai 1 Juni 2013. Dengan tarif progresif tersebut,
penumpang berpeluang membayar harga tiket lebih murah dibandingkan
dengan harga tiket KRL yang berlaku saat ini.
Direktur Komersial dan Humas PT KAI
Commuter Jabodetabek (KCJ) Makmur Syaheran, Minggu (19/5), mengatakan,
harga tiket dengan tarif progresif ini ditentukan jauh-dekat perjalanan
penumpang. ”Untuk lima stasiun pertama, penumpang dikenai tarif Rp
3.000. Adapun untuk setiap tiga stasiun berikutnya, harga tiket ditambah
Rp 1.000,” kata Makmur.
Dia menambahkan, harga tiket yang harus
dibayar penumpang ditentukan oleh sistem yang sudah dipersiapkan
operator. Apabila ada kemungkinan lebih dari satu jalur ke stasiun
tujuan, sistem secara otomatis akan menghitung jalur terpendek. Dengan
demikian, harga tiket yang harus dibayar adalah harga termurah.
Makmur mencontohkan, penghitungan tarif
dari Stasiun Bogor ke Stasiun Jatinegara tidak berdasarkan jumlah
stasiun yang dilewati oleh kereta jalur lingkar yang berjumlah 29
stasiun. Tiket dihitung berdasarkan jarak terdekat, yakni
Bogor-Manggarai-Jatinegara yang berjumlah 17 stasiun. Dengan demikian,
penumpang Bogor-Jatinegara hanya membayar Rp 7.000. Adapun tarif yang
berlaku saat ini untuk rute tersebut Rp 9.000. Makmur memastikan, tarif
yang dibayar penumpang tidak akan lebih mahal ketimbang tarif yang
berlaku saat ini meskipun jumlah stasiun yang dilewati sudah melampaui
batas maksimal.
Pada tahap awal, tiket elektronik
digunakan untuk satu kali perjalanan. Ke depan, tiket diberlakukan
dengan sistem potong saldo (multitrip). Dengan sistem penghitungan tarif
ini diharapkan semakin banyak orang tertarik menggunakan KRL sebagai
moda transportasi, tidak hanya untuk pekerja komuter, tetapi juga untuk
transportasi di dalam kota. Sepekan ke depan, PT KCJ akan memaksimalkan
sosialisasi tiket progresif dan tiket elektronik ini kepada penumpang
KRL. Tarif progresif juga mulai dipasang di stasiun-stasiun.
Adapun proses uji coba tiket elektronik
ini masih dilakukan di sejumlah lintas di Jabodetabek. Sejak 8 April
sampai 13 Mei, sudah 130.000 tiket elektronik yang dijual dan digunakan
penumpang pada masa uji coba. Saat ini, penjualan tiket elektronik
sepenuhnya sudah dilakukan untuk rute Stasiun Duri-Tangerang. Di rute
lain, penjualan tiket elektronik dilakukan pada jam-jam tertentu yang
bukan jam sibuk, seperti Jakarta Kota-Depok, jalur lingkar Jakarta, dan
Tangerang-Duri.
Ketua Asosiasi Pengguna Kereta (Aspeka)
Ahmad Safrudin mengatakan, kebijakan tarif progresif ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, dapat mengurangi ketidakadilan
tarif KRL untuk jarak dekat seperti yang berlaku saat ini.
”Saat ini, orang yang menempuh jarak
dekat harus membayar tarif yang hampir sama dengan penumpang KRL jarak
jauh. Tarif untuk jarak dekat memang bisa saja lebih mahal daripada
jarak jauh, tetapi angkanya tidak semahal sekarang,” katanya.
Di sisi lain, Ahmad berpendapat,
operator seharusnya menghitung tarif berdasarkan kilometer penumpang,
bukan per stasiun. Dengan begitu, tarif KRL bisa bersaing dengan moda
angkutan perkotaan lain, seperti angkot. Data tentang perjalanan
penumpang, menurut Ahmad, seharusnya bisa diperoleh dari data penumpang
KRL saat ini.
Sterilisasi stasiun
Secara terpisah, Kepala Humas PT Kereta
Api Indonesia Daop I Sukendar Mulya mengatakan, pihaknya masih
mempersiapkan pintu elektronik dan sterilisasi stasiun sebelum
pemberlakuan tiket elektronik. Pembongkaran kios di area stasiun masih
terus dilakukan, hingga kemarin. ”Kami juga terus mendekati pedagang
yang masih melakukan penolakan. Kami berharap mereka memahami alasan
pembongkaran ini,” ujarnya.
Sterilisasi dibutuhkan karena area peron
stasiun dikhususkan untuk penumpang yang akan naik KRL. Untuk masuk ke
peron juga diperlukan tiket elektronik. Hal ini tidak memungkinkan bila
masih ada kepentingan lain di area peron selain penumpang yang menunggu
kereta di peron. Pembongkaran kios juga dilakukan untuk menyediakan
lahan parkir untuk menampung kendaraan pribadi yang dibawa penumpang
sebelum naik KRL.
Sukendar mencatat ada sejumlah stasiun
yang belum bersih dari kios, seperti Stasiun Kranji yang masih
menyisakan 57 kios. Dari jumlah itu, ada satu kios yang masih memiliki
kontrak hingga 30 Juni. Di Stasiun Duri, ada 77 kios yang masih berdiri.
Dari jumlah itu, 70 di antaranya tidak memiliki kontrak dengan PT KAI.
Meskipun demikian, Sukendar mengatakan, pihaknya akan terus mendekati
pedagang yang tidak memiliki kontrak itu agar mereka bersedia pindah.
Adapun di Stasiun Universitas Indonesia,
ada dua kios yang masih memiliki kontrak hingga 30 Juni. PT KAI,
menurut Sukendar, akan membongkar kios setelah kontrak itu selesai.
Total, ada 60 kios yang belum dibongkar di stasiun ini.
Pada hari Minggu, pembongkaran kios
dilakukan di Stasiun Universitas Pancasila. Sehari sebelumnya, hari
Sabtu, pembongkaran kios dilakukan di Stasiun Cawang.sumber: KOMPAS.com, 20 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar